“Pak, berhenti di depan BRI, ya.” Intruksi dari seorang laki-laki bertopi hitam, dan mengenakan jaket warna oranye. Lelaki yang mendampingi kami tur selama tiga hari dua malam. Pak Daryo, namanya.
BRI Dieng menjadi ancer-ancer menuju Bukit Scotter, Dieng, Banjarnegara. Teman-teman nampak semangat turun dari minibus meski sudah dipastikan tidak akan mendapat sunrise karena kami keluar dari penginapan D’Qiano jam 05.00 WIB. Sampai kaki bukit jam 05.30 WIB.
Dinginnya Dieng pagi itu sama sekali tidak menyurutkan niat untuk sampai puncak Bukit Scotter. Justru sebaliknya. Udara segar, perkampungan rapih, dan pemandangan sekitar bukit yang terlihat dari kejauhan, sukses menggerakkan kaki kami untuk melangkah cepat karena petunjuk arah ke bukit sudah terpampang jelas. Tidak perlu mikir, tanya warga, apalagi bingung pilih arah.
Satu hal yang membuatku gemas-gemas terharu pagi itu yaitu karena aku gagal mempertahankan kaki untuk tetap standby di area parkir. Si Kecemut tidak mau berhenti jalan! 😆 Ampun, deh.
Niatku hanya mengantar Teman-teman sampai seperempat jalan. Itung-itung sambil olahraga pagi seperti biasa.
Berbagai usaha untuk membuatnya kembali tersenyum sudah kulakukan. Jalan-jalan di sekitar area parkir, sampai kembali turun ke perkampungan. Tapi gagal. Mbak Rian, satu-satunya peserta yang tidak ikut naik bukit menyarankan untuk diajak jalan ke atas. Ini pilihan akhir yang bisa kulakukan. Dan akhirnya, Kecemut kembali girang saat melihatku ngos-ngosan. Ampun ini bocah.
Bagiku, perjalanan menuju Bukit Scotter dengan menggendong bayi tidak begitu susah payah. Tanjakan yang didapat hanya dua kali saja, yaitu awal hiking, masih dalam perkampungan. Kemudian, saat hampir sampai Bukit Scotter. Selebihnya, jalan datar.
Langkah para petani pagi itu menemani perjalananku. Sambil ngobrol dengan mereka, tidak terasa kurang lebih lima belas menit telah sampai loket Bukit Scotter. Ini bacanya ngindonesia saja, ya. Skoter, bukan Skuter. Kalau sampai salah baca, bisa penasaran sampai ubun-ubun karena tidak akan pernah menemukan Skuter di puncak bukit. 😆
Nama Scotter atau Skoter ini diambil karena dulu di kaki bukit terdapat pemancar atau tower radio. Skoter (Seko Tower) yang dalam Bahasa Indonesia berarti Dari Tower, menurut salah satu pertani yang ngobrol denganku. Please jangan tanya hubungan darah antara Tower dan Bukit ini, ya. Kagak paham betul. 😛
Beberapa petani yang hendak ke ladang dengan mengendarai sepeda motor menawarkan jasa untuk mengantarkanku sampai ladang mereka yang katanya ada di seberamg bukit. Tapi, melihat perkakas bawaan mereka yang digendong, rasanya akan menambah beban dan merepotkan.
Ya, tidak sedikit petani yang mengendarai sepeda motor untuk ke Ladang karena jalan sudah lumayan bagus. Hanya saja, karena malam harinya gerimis, beberapa titik jalan yang belum dicor semen lumayan becek. Makanya, aku tetap memilih untuk jalan kaki. Takut motor mereka kelebihan muatan, lalu BREG! 😀 😛
Omong-omong, ternyata aku dan Kecemut bukan satu-satunya peserta yang belum sampai puncak. Masih ada Tante yang terlihat santai, menikmati perjalanan. Jadi ada teman, deh! 😀
Aku dan Kecemut kerap berhenti. Sementara Tante, terus berjalan pelan. Sesekali motoin kami. 😉 Kami berhenti bukan karena aku loyo, atau Kecemut rewel. Melainkan, HARUS selfie. Hahaha. Penting banget, ya. Jelas, dong.
Background Gunung Sindoro cakep banget! Apalagi, perkampungan Dieng yang telah padat. Wuuuw…selfie muluuu bawaannya. Ditambah lagi, ada Masjid di tengah perkampungan yang cuantik nian. Wuuuw…selfie lagi. 😀
Tidak terasa, 30 menit telah kami habiskan untuk jalan, dan kami telah sampai puncak Scotter. Sesampainya di bukit, Teman-teman nampak sibuk dan asyik memainkan kamera, pose, untuk mengambil gambar terbaik. Tiap sudut Bukit Scotter penuh untuk sesi foto. 😀 Gazebo mungil yang asyik banget buat duduk berdua sambil rangkulan, menjadi salah satu spot yang menarik. Rangkulan sama si Kecemut. 😛
Dari puncak Bukit Scotter, lansekap perkampungan Dieng lebih indah. Berfoto dengan latar belakang Gunung Sindoro pun makin greget. Kompleks Candi Arjuna nampak jelas setelah kamera dizoom maksimal. 😆
Aku bersama Si Kecil juga minta difoto berkali-kali dengan background Gunung, Perkampungan, Bunga, Ladang, dan awwww….hasilnya kece bangett! Makasih udah motoin kami ya, Tanteee. 😀
Bukit yang awal tahun ini baru mulai dijadikan tempat wisata, punya tempat khusus untuk narsis. Asli, ini narsis sungguhan di Bukit.
A photo posted by CERIS Wisata (@ceriswisata) on
Bukit Scotter menyediakan tempat khusus, sebut saja gardu pandang, yang terbuat dari bambu. Besama Mbak Lia dan Tante, aku mencoba untuk naik ke atas gardu secara bergantian. Untuk sampai ke atas, kami menggunakan tangga yang berada di samping gardu, cukup dengan enam langkah, foto narsis dimulai.
Di tangan Mas Nur, videografer dari Satelit News, hasil jepretannya membahagiakan banget! Fotonya cakep-cakep. Modelnya juga mendadak cakep. Tidak sia-sia meninggalkan Kecemut sejenak. Hahaha. Makasih Mas Topan, sudah mau gendong Yasmine yang rewel tak terkira. 😀
Bukit Scotter bisa menjadi alternatif pilihan saat berwisata ke Dieng. Kurang lebih 20 menit dari kompleks Candi Arjuna, Bukit ini mudah dijangkau. Hiking sejauh 1 km dengan medan tergolong biasa, menawarkan keindahan lansekap Dieng yang tak biasa. Nyalakan Google Maps bila belum paham jalan di Dieng, ya. Bukit Scotter tersedia di G-Maps. 😉
Baca juga: Hiking ke Bukit Scotter Bersama Bayi! 😛
Enam destinasi wisata Dieng Plateau mejeng cantik di Peta Wisata Jawa Tengah. Bersebelahan dengan destinasi unggulan Borobudur. Artinya, Dieng menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Tengah yang recommended. Menawarkan pesona alam, seni, budaya, yang menarik dan tiada duanya. Keren banget, kan? *jawabkeren* *segelasdawetuntukmu*
Kompleks Candi Arjuna, Bukit Scotter, Kawah Sikidang, UD. Tri Sakti sebagai pusat Oleh-oleh Khas Dieng,Bukit Sikunir, dan Telaga Warna. Itulah enam destinasi yang terpampang di peta wisata Jateng.
Dari keenam destinasi, empat diantaranya adalah milik Banjarnegara. Ini yang membuatku bangga. Tepatnya, turut bangga karena secara administratif, keempat objek tersebut berada di tempat tinggalku, Banjarnegara. Duuh…gimana lagi, ya. Sudah terlanjur demen banget sama Banjarnegara. Apalagi, potensi wisatanya begitu banyak. Gue makin bangga, dong. 😆
Di hari ketiga Blogger Trip Plesir Maring Banjarnegara, kami diajak keliling KWDT (Kawasan Wisata Dataran Tinggi) Dieng, Banjarnegara. Sekadar informasi, pada tiap postingan tentang Dieng, aku kerap menyertakan “Banjarnegara” di belakangnya karena KWDT Dieng terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan Banjarnegara dan Wonosobo. *catatyaks*
Jika tadi melihat Peta Wisata Jateng, kini aku tercengang saat membaca pamflet Pesona Alam Dieng yang dibagikan oleh Dinbudpar Banjarnegara. Pada pengantarnya tertulis prosentase KWDT Dieng yang ternyata 80% #PesonaDieng adalah milik Banjarnegara. Catet lagi, ya. DELAPAN PULUH persen, Sist! Sebelumnya, aku kira kisaran enam puluh prosen saja. 😛 Sementara sisanya, milik Kabupaten Wonosobo.
Sekarang aku akan mengajak kalian turut menyambangi Wisata Unggulan Dieng, Banjarnegara. Cukup meluangkan waktu sepuluh menit, kalian akan sampai objek wisata unggulan Dieng (dalam tulisan) berikut ini. 😛
Kompleks Candi Arjuna
Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan kompleks Candi Arjuna. Ke Dieng tanpa mengunjungi Candi, rasanya kurang greget. Selain dikenal dengan negeri di atas awan, Dieng juga terkenal dengan warisan situs purbakala, Candi Dieng.
Candi Dieng merupakan kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa. Candi-candi ini terbagi menjadi beberapa kelompok dan lokasinya pun menyebar. Ada yang berdekata, seperti Candi Arjuna dan Candi Gatotkaca.
Saat kami berkunjung ke sini (16/11), sedang ada pemugaran candi di kompleks Candi Arjuna. Kalau tidak salah ingat, Candi Puntadewa sudah mulai dipugar. Meski demikian, kami tetap tur Candi dengan didampingi pihak Dinbudpar dan seorang pemandu wisatakompleks candi dan museum kailasa.
Untuk dapat masuk Kompleks Candi Arjuna, kalian cukup membeli tiket terusan senilai Rp 15.000 per orang. Tiket terusan ini sepaket dengan tiket masuk Kawah Sikidang. Catet, ya. Tiket terusan.
Berlokasi tidak jauh dari Kompleks Candi Arjuna, berdiri Candi Gatotkaca. Candi ini berada di dekat tempat parkir, atau pintu masuk Kompleks Candi Arjuna. Candi ini berdiri sendiri, bangunan candi terbilang masih kokoh, dan tempatnya cukup teduh kerena banyak pepohanan di sekitar candi.
A photo posted by CERIS Wisata (@ceriswisata) on
Bagi kalian yang senang menelusuri jejak situs purbakala, bisa lanjut menyambangi Candi Bima, candi termuda, terbesar di Dieng dan sangat unik karena pada tiap tingkatan atap terdapat Arca Kudu. Kemudian, ada Kelompok Candi Setiyaki di mana lokasinya cukup dekat dengan Candi Gatotkaca. Terakhir adalah Candi Dwarawati. Candi ini lokasinya cukup jauh dari Kompleks Candi Dieng. Tepatnya di Desa Dieng Kulon, kaki Gunung Perahu.
Selanjutnya menyambangi Museum Kailasa!
Museum Kailasa
Menyambangi Museum tanpa pemandu? Apa jadinya? Mungkin bakal bengong, atau manggut-manggut sedikit paham karena terbantu dengan informasi yang tertera pada masing-masing benda. Kami, khususnya aku, merasa tertolong karena saat menyambangi Museum Kailasa, di mana lokasinya cukup tiga menit jalan kaki dari Kompleks Candi Arjuna, didampingi oleh pemandu wisata khusus bagian Museum dan Candi. Lumayan, menambah referensi dan pengetahuan.
Masuk Museum Kailasa, kami diajak nonton film terlebih dahulu. Film tentang peradaban masyarakat Dieng kala itu, sampai pembangunan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng, berdurasi 20 menit.
“Orang zaman dulu memang unik, dan kreatif.” Batinku, saat film yang diputar mulai masuk bagian detil perancangan candi.
Museum Kailasa terbagi menjadi dua, yaitu bagian khusus peninggalan peradaban masyarakat kala itu yang berada di dalam Museum Kailasa. dan koleksi purbakala seperti Arca-arca yang berada di bangunan terpisah, tepatnya di depan Museum Kailasa.
Pemandu wisata menjelskan detil asal muasal ditemukan candi, dan berbagai Arca di dataran tinggi deing. Asli, kami larut dalam dongeng Bapak pemandu wisata yang betul-betul paham seluk beluk warisan yang berada Ganesha, arca-arca para Dewa dalam agama Hindu, arca lembu yang mirip dengan Situs Watu Lembu di Banjarmangu, dan masih banyak lagi koleksi benda di museum ini.
Cukup membayar Rp 6.000 per orang, kalian dapat masuk, dan melihat bermacam koleksi yang ada di dalam Museum. Aku saranin untuk minta pendamping saat menyambangi Museum Kailasa, ya. Banyak manfaatnya, kok.
Kawah Sikidang
Usai berkeliling Museum Kailasa, kami melanjutkan tur ke Kawah Sikidang. Kami masih ditemani Pak Daryo yang setia banget mendampingi kami selama perjalanan. Dengan mengendarai minibus, tidak sampai 15 menit dari Kompleks Candi Arjuna, kami tiba di Kawah Sikidang.
Di lokasi ini, aku memilih untuk jalan-jalan di “pasar” yang berada di kanan jalan karena Si Kecil masih peka sama aroma belerang. Aku mengatakan pasar karena banyak macam yang dijual di sini. Dari camilan Kentang Goreng, Sembako, Oleh-oleh khas Dieng, Bumbu Dapur, sampai dengan Opak juga ada! Pasar Sikidang, nih. 😀 Selain pasar, tempat parkiran makin luas, bersih, ternyata sudah ada fasilitas flying fox!
A photo posted by Pungky Prayitno (@pungkyprayitno) on
Fasilitas ini dapat dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk mencapai Kawah. Hanya sekedipan mata, pengunjung bisa sampai bibir kawah. Seperti Mbak Lia dan Pungky. Mereka menjajal flying fox karena memang ingin mencobanya, sekaligus menghemat tenaga.
Flying fox yang dibanderol dengan tiket Rp 20.000 per orang, hanya bisa sampai kawasan Kawah Utama saja, dan tiu satu kali perjalanan. Pengunjung akan kembali berjalan kaki saat kembali.
HTM (Harga Tiket Masuk) Kawah Sikidang yaitu Rp 15.000 per orang. Ini merupakan tiket terusan Candi Arjuna-Kawah Sikidang. HTM tiket terusan ini nampaknya kurang diindahkan oleh para pengunjung, nih. Ceritanya, saat aku sedang antre Toilet, ada beberapa pengunjung yang nampaknya kurang setuju dengan tiket terusan ini.
“Kenapa ngga Candi dan Museum aja, sih. Kan lebih dekat, ya.” Ucap seorang perempuan kepada temannya yang duduk di sebelahku. Tapi, aku yakin, pihak Dinbudpar pasti punya tujuan lain atas tiket terusan ini. Ya kan, Pak Dwi? 😀
Bukit Scotter
“Turun depan BRI, ya.”
Aba-aba dari seorang laki-laki berkumis yang mendampingi kami tur selama tiga hari dua malam. Siapa lagi kalau bukan Pak Daryo! Ternyata, BRI Dieng menjadi ancer-ancer menuju Bukit Scotter. Ini bacanya ngindonesia saja,ya. Skoter, bukan Skuter.
Bukit ini belum lama menjadi objek wisata. Awal tahun 2016, mungkin. Sebenarnya, bukit ini tidak masuk wisata unggulan Dieng, Banjarnegara. Tapi, karena sudah masuk peta wisata Jateng, aku pun -seperti- harus memasukkan bukit Scotter pada blog post ini.
Melihat lansekap Kawasan Dieng dari atas Scotter menjadi salah satu hal yang dapat kalian lakukan di sini. Tapi, apakah yakin hanya ingin melihat lansekap saja? Soalnya, bukit ini bisa dibilang instagramable banget! Asli.
A photo posted by Idah (@idahceris) on
Background Gunung Sindoro menjadi incaran kami saat itu. Yaa…abisnya hasil jepretan makin kece, siih! Kan sayang banget mengabaikan Sindoro yang gagah itu. Selain itu, berfoto dari atas gardu pandang yang terbuat dari bambu juga tak kalah menarik. Hijaunya rumput, cantiknya bunga-bunga di bawah gardu akan “mencetak” hasil foto yang bikin greget-greget pingin narsis terooos.
Untuk mencapai Bukit Scotter, kalian tidak perlu susah payah. Hanya butuh waktu 15 menit saja untuk trecking jalan utama. HTM masuk bukit ini yaitu Rp 5.000 per orang. Itupun jika ada yang menjaga loket. Hihihi Berlokasi di Desa Dieng Kulon, Bukit Scotter mudah banget dijangkau karena aksesnya sangat mudah. Kira-kira, 25 menit dari kompleks candi arjuna. Tentang Bukit Scotter, akan aku posting terpisah, ya. 😛
D’Qiano Spring HOT Waterpark
Jelas banget, ya. Kata HOT sengaja aku capslock karena waterpark ini begitu HOT! Air yang mengalir ke waterpark dengan ketinggian 2.000 m dpl ini bersumber dari Kawah Sileri, Kawah terbesar di Dieng.
A photo posted by CERIS Family (@cerisfamily) on
Sama halnya dengan bukit scotter, D’Qiano juga tidak masuk wisata unggulan Dieng, Banjarnegara. Tapi gimana lagiiiih…! D’Qiano telah berhasil membuat kami betah berlama-lama di kolam hangat. Cukup membayar HTM Rp 20.000 per orang, kalian bisa renang, berendam dari jam 08.00 WIB sampai 17.00 WIB, sesuai jam operasional D’Qiano.
Jarak tempuh menuju D’Qiano dari Kompleks Candi Arjuna kurang lebih 35 menit. Ada banyak fasilitas umum yang disediakan, diantaranya: ruang ganti, kamar ganti, tempat jajan, dan yang tak kalah pentingnya yaitu penginapan. Tentang penginapannya seperti apa, nanti aku tulis terpisah saja, ya. 😀
Jika berwisata ke Dieng, kalian HARUS menyambangi D’Qiano yang berlokasi di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur. Yaa…kapan lagi bisa berenang sampai puas, tapi tidak merasa dingin! Ingat, waterpark ini di Dieng, lho. DIENG KAWASAN BANJARNEGARA. *pentingbangetcaplockini*
Pusat Oleh-oleh Khas Dieng
Piknik ke Dieng tidak mampir pusat oleh-oleh khas Dieng. Yakin? Pengen jemuran yang udah kering, kembali basah karean kehujanan. Kembali basah karena tetangga kagak dibelikan oleh-oleh khas, tapi sempat pamit. Duuh…tetangga masa gitu, sih!!! HAHAHA
UD. Tri Sakti menjadi pelabuhan terakhir Blogger Trip Ayo Plesir Maring Banjarnegara. Bapak Saroji, pemilik UD. Tri Sakti ini ternyata giat banget mempromosikan oleh-oleh khas Dieng. Sesampainya di UD. Tri Sakti, seluruh Blogger mencicipi aneka jajan, oleh-oleh khas Dieng. Dan yang paling laku yaitu Keripik Kentang dan Carica! Juara banget kalau disuruh ngemil, ya.
Oleh-oleh khas Dieng lainnya yang ada di UD. Tri Sakti diataranya: Keripik Jamur, Kerupuk Carica, Sirup Carica, Jenang Carica, Jus Terong Belanda, dan tentunya Purwaceng!
Kabarnya, beliau adalah orang pertama yang budidaya tanaman purwaceng di Dieng, mengolahnya menjadi minuman dalam bentuk serbuk, lalu memasarkannya dengan harga terjangkau karena produksi sendiri atau home industri. Pak Saroji ini meski sudah usia lanjut, inovasi tentang camilan cethar banget. Salut dengan beliau yang kini tinggal di Dieng Kulon, Banjarnegara.
Omong-omong, UD. Tri Sakti ini berlokasi di seberang jalan BRI Dieng atau seberang jalan masuk Bukit Scotter. Mudah banget dicari, harga juga bikin kita menari-nari. Ramah dompet, Sist. 😆 😛
Bagi kalian yang hendak berwisata ke Dieng, silakan menyambangi wisata unggulan Dieng, Banjarnegara. Aku yakin, kalian kagak bakal kuciwa! Asal dari rumah membawa bekal happy, sesampainya di Dieng makin happy!
Cara Menuju Telaga Dringo – Telaga tertinggi di Dataran Dieng, yang mana -menurut saya- Dringo merupakan Telaga yang paling memesona di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Tidak hanya suguhan telaga yang didapat, namun ada dua objek lain yang wajib disambangi ketika sudah sampai Dringo. 😉
Untuk mencapai Telaga Dringo, kami lewat jalur timur, yaitu Wonosobo-Dieng. Kamu bisa banget lewat jalur barat, yang tak lain adalah arah Banjarnegara-Dieng. Akan tetapi, perjalanan akan terasa lebih dekat jika lewat jalur timur. Padahal, tempat tinggal kami di Banjarnegara. 😆 Mungkin, ini karena kebiasaan. Ya, kami terbiasa berangkat lewat jalur timur. Barulan pulang lewat jalur barat. 😉
Beruntung, saat itu ada Mas Ivan yang sudah paham benar perihal akses menuju Telaga Drigo. Jadi, kami tidak banyak berhenti, langsung menuju Dringo.
Setibanya di Desa Pekasiran, Kec. Batur, Kab. Banjarnegara, yang tak lain adalah lokasi Telaga Dringo, saya cukup surprise dengan kondisi atau akses jalan-nya saat itu. Namanya telaga tertinggi, tak heran jika lokasinya pun cukup jauh, ya. Berada di pucuk Desa.
FYI, jika kamu berniat piknik ke Telaga Dringo, ada dua alternatif moda transportasi yang bisa kamu pilih. Pertama yaitu transportasi umum, dimana kamu harus ekstra sabar untuk mendapatkannya. Angkutan tersebut akan mengantarkan kamu sampai jalan utama Desa Pekasiran. Setelahnya, perjalanan bisa dilanjutkan dengan treking atau sewa jasa ojek.
Selain transportasi umum, kamu juga bisa mengendarai sepeda motor atau sewa mobil jeep. Tansportasi ini lebih menghemat waktu dan juga tenaga.
Jika ingin menggunakan sepeda motor, saya sarankan jangan menggunakan motor matic. Tapi, bukan berarti dengan menggunakan sepeda motor matic kamu ngga bisa sampai. Hanya saja, kasihan matic unyu punya kamu dipaksa untuk tancap gas terus di jalan rolak. 😉 Ada baiknya kamu mengajak teman yang ahli nyetir.
Lalu, kenapa saya menyarankan Mobil Jeep atau mobil sejenisnya yang cukup tangguh? Karena memang tipe jalan-nya cocok banget untuk olahraga off road. Medannya cukup mendebarkan! Batu pecahan, dua tanjakan yang ngga biasa, dan satu jalan temurun, cukup memicu adrenalin. Ngga kebayang jika menggunakan honda jaz. Kasihan mobilnya, bukan? 😉
Sekadar informasi, jika menggunakan mobil, kamu hanya bisa memarkirkannya di jalan masuk kawasan Telaga Dringo. Sebab, untuk benar-benar sampai depan persis Telaga, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik sepeda motor.
Perjuangan menuju Dringo tidak hanya sampai pada jalan utama yang belum beraspal itu. Kamu masih harus menyusuri hutan, melewati jalan setapak yang hanya cukup untuk jalan satu sepeda motor.
Saat hari mulai gelap dan kamu belum sampai Telaga, kamu tidak perlu was was atau takut saat perjalanan menuju Telaga. Ada banyak penduduk setempat yang bertani sampai sore hari. Terpenting, kamu harus bisa membawa, menjaga barang bawaan kamu dengan baik. Kalau bisa, seluruh bawaan masuk tas ransel supaya aman dan kamu lebih tenang menikmati perjalanan.
Kami mengunjungi Telaga Dringo pada waktu yang kurang tepat, dimana masih pada musim penghujan. Cukup banyak kabut di atas telaga dan risiko banget harus melewati jalan tanah becek, yang membuat motor keselip. Hanya motor Mas Ivan saja yang selamat, meski sempat ngetril saat ditanjakan karena kelebihan muatan. *lirik winda* 😆
Nah, buktikan kalau kamu memang berjiwa petualang. Taklukan medan menuju Telaga Dringo. Ngetril, motor macet, keselip, tuh hanya secuil pengantar dari sebuah perjalanan menuju Dringo. Setelahnya, kamu akan mendapat kejutan yang luar biasa dari Telaga Dringo, yang tak hanya sebatas Telaga.
“Buuk, ini aliran air didapat dari Telaga Cebong atau sumur rumah?“. Sesampainya di kawasan Telaga Cebong, saya segera melipir ke toilet mili Bu Barokah…
Candradimuka, sebuah kawah yang menyimpan banyak kisah unik seputar pewayangan, yaitu Mahabarata. Kisah dimana Wisanggeni pernah dimasukan kawah oleh Dewasrani yang bermaksud untuk…