Karya Seni di Museum MACAN yang Mengesankan
Karya Seni di Museum MACAN – Museum MACAN, mendengar namanya, langsung terlintas dalam bayangan tentang koleksi macan atau harimau yang telah diawetkan. Beragam jenis macan yang dipamerkan di sana, termasuk fosil-fosilnya. Namun ternyata setelah aku cari tahu lewat internet, MACAN ini adalah akronim dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara. Dasar kurang gawl. đ Untung mendadak browsing, ya. Coba kalau tidak, bakal kebayang, tuh, gigi taring macan yang bikin merinding kalau melihatnya.
Museum MACAN yaitu museum seni di Kebon Jeruk , Jakarta, Indonesia. Museum yang memiliki area tampilan sekitar 4.000 meter persegi adalah yang pertama di Indonesia yang memiliki koleksi seni Indonesia dan internasional modern dan kontemporer. Namanya saja Kontemporer, pasti selalu ada pergantian karya seni di museum ini. Saat aku ke sana pada bulan Desember 2018, Museum MACAN sedang menampilkan tiga pameran tunggal dari tiga seniman ternama yaitu Arahmaini, Lee Mingwei, dan On Kawara. Mereka menampilkan karya-karya yang mengagumkan, dan juga kritis.
Sebelum lanjut ke karya seni mereka, ada baiknya kalian harus tahu dan kenal dengan orang-orang hebat tersebut.
Karya Seni di Museum MACAN yang Mengesankan.
Arahmaiani, seniman Indonesia kelahiran Bandung yang sekarang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Arahmaiani adalah salah satu figur penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Ia merupakan salah satu pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara.
Lee Mingwei, lahir di Taiwan pada tahun 1964 dan saat ini tinggal di Paris dan New York City. Lee Mingwei menciptakan instalasi partisipatif, di mana orang asing dapat menjelajahi masalah kepercayaan, keintiman, dan kesadaran diri, di mana pengunjung dapat merenungkan masalah ini melalui makan, tidur, berjalan dan bercakap-cakap.
On Kawara, seorang seniman konseptual Jepang yang tinggal di New York City dari tahun 1965. Dia ikut serta dalam banyak pameran tunggal dan kelompok, termasuk Venice Biennale pada tahun 1976.
Gimana? Mereka para seniman yang hebat, bukan. Di museum ini tercatat kurang lebih ada 800 karya seni terkemuka di Indonesia, Eropa, Amerika Utara, China dan negara Asia lainnya, namun aku akan menuliskan beberapa saja yang aku ingat karena sangat mengesankan.
Arahmaiani dengan karya seni kontemporernya yang kritis ini berjudul Masa Lalu Belumlah Berlalu
Sampai di Museum kira-kira pukul 10.00 WIB, kami naik lift menuju lantai 2 untuk melihat koleksi karya Arahmaiani. Masuk ruang pamer karya Arahmaiani, pengunjung akan disuguhi sejumlah bendera warna-warni tergantung di langit-langit ruang pamer. Instalasi ini berjudul âFlag Projectâ.
Di ruang ini pengunjung dapat melihat pesan kritik sosial. Salah satu karya instalasi Arahmaiani yang banyak menarik perhatian pengunjung, khususnya aku, yaitu berjudul âNation for Saleâ. Instalasi ini berwujud puluhan kotak kecil yang tertata rapih dalam sebuah kotak besar warna putih. Kotak-kotak kecil berisi diorama militer, stoples pil, stoples air, stoples pasir, dan senjata laras panjang. âNation for Saleâ menyinggung industri kebudayaan Indonesia yang didukung oleh investasi modal yang besar. Dengan tambahan tulisan Halal di bawahnya, Arahmaini mengkritisi bahwa tidak sedikit masyarakat Indonesia kepincut dengan label diskon tanpa mengulik terlebih dahulu produk tersebut halal atau tidak.
Berjalan ke sisi lain museum, pengunjung akan menemukan instalasi gambar peta Indonesia, yang dibuat dari batang korek api, empat pakaian digantung di atasnya, dan settingan kamar dengan baju dan dalaman masih di atas kasur. Pada instalasi ini, Arahmaiani mengalihkan fokusnya pada kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998. Instalasi berjudul âBurning Countryâ ini dibuat ulang Arahmaiani pada 2018. Masih banyak karya Arahmaiani lainnya dalam pameran, namun banyak yang hilang dalam ingatan ini. đ
Lee Mingwei mengajak pengunjung interaksi di instalasinya yang bertajuk Seven Stories (Tujuh Kisah)
Aku cukup berlama-lama menikmati ruang instalasi karya Lee Mingwei. Selain merasa nyaman, Lee Mingwei menjadikan ruang yang begitu tenang ini sebagai sarana untuk interaksi. Ya, interaksi menjadi kunci bagi Lee Mingwei dalam karya-karya yang dia tampilkan di Museum Macan. Salah satu karya yang membuatku kagum yaitu berjudul âThe Mending Projectâ.
Wujud karya ini berupa gulungan benang warna-warni yang menempel di dinding. Pengunjung diundang untuk membawa pakaian dari rumah yang telah sobek. Pakaian tersebut bisa dijahit sendiri atau dibantu oleh para relawan yang saat itu menjaga instalasi.
Pengunjung dipersilakan untuk duduk di balik meja, dan berinteraksi dengan seniman sambil memperbaiki pakaian. Nah, pakaian yang telah diperbaiki ini diletakkan di atas meja, dengan keadaan masih terhubung gulungan benang yang tergantung di dinding. Sederhana, simpel, dan mengajarkan kepada kita untuk lebih berhemat.
Lee Mingwei juga menampilkan seni pertunjukan partisipatif. Aku kaget ketika ada seorang wanita mengenakan baju warna hitam menghampiri saat salah satu temanku yaitu Novi. Perempuan yang ternyata adalah penyanyi, mengajak Novi untuk mengikutinya. Sampai pada sebuah ruang pertunjukan yang begitu tenang, Novi diarahkan petugas untuk duduk di sebuah kursi yang dirancang khusus untuk pengunjung, kemudian penyanyi tersebut mempersembahkan sebuah lagu secara langsung dengan diiringi nada piano yang berada di belakang penyanyi. Suaranya bagus banget sampai membuatku merinding. Seni pertunjukan tersebut dia beri nama âSonic Blossomâ. Bagiku, ini pengalaman yang mengesankan. Apalagi bagi Novi yang mengalaminya langsung, ya.
Setelah âSonic Blossomâ, Â aku masuk ruang yang mana di dalamnya terdapat tiga bilik yang berisi kertas surat, meja, kursi, alat tulis, dan amplop. Instalasi yang diberi judul âThe Letter Writing Projectâ tersebut mengajak pengunjung untuk berpartisipasi menulis surat.
Pengunjung bisa memasuki salah satu dari tiga bilik dengan tipe yang berbeda, yaitu ada  bilik lesehan, berdiri, dan berkursi. Konsepnya dapat banget, artinya siapapun bisa menulis surat, mulai dari anak-anak yang mungkin memilih untuk duduk di kursi, atau orang tua yang lebih memlih lesehan.
Di sini aku ikut menulis surat yang ditujukan kepada Kecemut. Hihihi. Surat-surat ini dapat disegel dan diberi alamat, kemudian dikirimkan oleh pihak Museum Macan, atau dapat ditinggalkan tanpa tersegel untuk dibaca oleh pengunjung lainnya. Aku milih untuk disegel dan diberi alamat lengkap. Alhamdulillaah sekarang surat sudah sampai dan sudah terbaca oleh SUAMI. Hihihi.
On Kawara mengajak partisipasi sepasang pengunjung di instalasi One Million Years (Reading).
On Kawara memamerkan karyanya untuk pertama kali di Indonesia. Dia menampilkan karya parsitipatif yang melibatkan seorang pria dan seorang perempuan. Kemudian, mereka membaca nama tahun di dalam karya âOne Million Years (Past)â dan âOne Million Years (Future)â. Kowara ingin pengunjung membaca konsep waktu secara kronologis. Aku bersama teman-teman tidak mengunjungi ruang pamer ini karena saat itu pertunjukan belum mulai.
Gatot Indrajati Mengajak Pengunjung untuk Lebih Kreatif di ruang The Tinkering Box
Selain ketiga seniman di atas, ada satu lagi seniman asal Yogyakarta yang turut memamerkan karyanya, yaitu Gatot Indrajati. Dia telah mengubah Ruang Seni Anak menjadi sebuah Kotak Utak-Atik. Sebuah pabrik kreativitas yang diisi dengan âmesinâ yang telah didekonstruksi. Dengan menggunakan kardus dan kayu, pengunjung diajak untuk menggunakan imajinasi mereka dan membuat sesuatu yang baru menggunakan material yang ada. Karena untuk berimajinasi seperti ini sangatlah SUSAH, sebagian besar dari kami pun memilih untuk duduk dan membuat prakarya menggunakan kardus.
Di sini, kami ikut membuat prakarya dari bahan yang telah disediakan. Disediakan puzzle dari kardus dan spidol warna-warni. Puzzle yang rata-rata karakter hewan ini dilepas satu persatu, lalu disusun dan jadilah karakter hewan. Buat yang suka mewarnai, karakter hewan ini bisa diwarnai menggunakan spidol atau ditambah tulisan di bagian sisi prakarya. Di sini kami cukup berlama-lama. Ya, meski untuk anak-anak, orang dewasa tetap diperbolehkan masuk untuk membuat sebuah karya.
Main-main di Museum MACAN hanya sampai pukul 13.00 WIB. Bahagia dan puas melihat hasil karya para seniman yang hebat itu. Sebenernya setiap karya yang ditampilkan di Museum MACAN ada cerita di balik sebuah karya. Sonic Blossom, misalnya. Beberapa tahun silam, ketika Lee Mingwei merawat Ibunya yang saat itu dalam masa pemulihan setelah operasi, mereka menemukan ketenangan dari mendengarkan kumpulan Lieder gubahan komposer Austria, Franz Schubert. Sang seniman pun menggambarkan kumpulan lagu tersebut sebagai sebuah hadiah tak terduga yang menentramkan ia dan Ibunya. Cerita yang sederhana, tapi menarik, ya.
Selain kuat di story, karya-karya yang dipamerkan di Museum MACAN ini juga terkenal instagramable. Seperti pameran sebelumnya, banyak karya-karya yang bagus buat foto-foto. FYI, tiga pameran tunggal yang dimulai dari tanggal 17 November 2018 sudah berakhir pada tanggal 10 Maret 2019. Namanya museum kontemporer, ya, pasti selalu update karya-karya barunya.
Karena mengikuti akun Instagram Museum MACAN @museummacan, aku jadi tahu perkembangan dan karya seni di museum MACAN yang mengesankan dan sedang dipamerkan di sana. Ada karya Yayoi Kusama yang saat ini masih hangat dan terus ramai dikunjungi wisatawan karena instagramable banget, ngena banget konsep Millennials Tourism. Jika suatu hari nanti ada waktu untuk kembali ke Jakarta, akan aku sempatkan untuk kembali mengunjungi Museum MACAN. Ada ribuan Karya Seni di Museum MACAN.
Jika teman-teman ada rencana ke Jakarta jangan lupa untuk berkunjung dan melihat Karya Seni di Museum MACAN. Rekomendasi destinasi wisata edukatif dan juga instagramable. Cocok buat kalian para generasi millennials, nih! đ
Museum MACAN
AKR Tower Level MM, Jl. Perjuangan No.5, RT.11/RW.10, Kb. Jeruk, Kota Jakarta Barat.
HTM : Mulai Rp 30.00
Jam Buka: Selasa-Minggu, pukul 10.00-18.00 WIB.
Baca juga Wisata yang Menarik di Ancol, Jakarta.