Gunung Bromo dan Alasan Kenapa Aku Ingin Kembali Mengunjunginya
Bromo termasuk salah satu destinasi wisata yang ingin kembali aku kunjungi. Ngga ada ribet-ribetnya naik Gunung Bromo. Tinggal jalan beberapa meter dari kaki Gunung Batok, naik ratusan anak tangga, elap keringat yang bercucuran sampai leher, pegang boyok berkali-kali, minum air putih yang cukup, sampai lah di puncak yang mana ada kawah aktif di sana.
Semudah itu untuk mencapai Bromo, ya. Mudah banget, apalagi kalau bisa menikmati perjanalan menuju puncak. Tangga untuk naik dan turun disediakan secara terpisah, sisi kanan dan kiri. Memang, tangganya ngga terlalu lebar, namun wisatawan masih tetap bisa istirahat di anak tangga meski dengan cara berdiri. Iya, berdiri sambil menikmati hamparan pasir yang begitu luas.
Sayangnya saat itu, aku mengurungkan niat untuk melihat kawah Bromo dari dekat. Aku merasa sudah cukup dengan berburu sunrise dan bermain pasir di kaki Gunung Batok tanpa naik ke Gunung Bromo yang telah menjadi landmark Kota Malang, Jawa Timur. Memang keputusan yang cemen, tapi aku biasa saja. Ngga ada rasa menyesal sekalipun.
Traveling kali ini, aku mendapat keluarga baru serta pelayanan spesial dari seorang teman Blogger Malang, yaitu Pakde Misbach. Dicarikan tempat untuk menginap semalam yaitu di rumah Mbak Aan, teman Pakde Misbach. Disewain Jeep merah yang begitu nyaman, sampai diajak kulineran khas Malang. Nikmat yang luar biasa, bukan? Pokoknya lain waktu mau kayak gini lagi. 😆
Deru mobil jeep di depan rumah Mbak Aan terdengar jelas. Masih dini hari dan mataku masih terjaga karena ngga nyenyak tidur. Ini salah satu kebiasaan jelekku jika hendak bepergian dini hari, ngga bisa bobok. Padahal sudah tahu ada agenda ke Bromo, bukannya istirahat cukup, malah mata enggan terpejam. Beuuuh…
Berangkat dari Tumpang pukul 02.00 WIB, bersama Mbak Yun, Keluarga Mbak Aan, dan Pakde Misbach. Wajah lelah masih nampak jelas meski sudah dipoles bedak. Tenaga pun rasanya belum terisi penuh, padahal sudah sarapan. Ini karena sebelumnya aku dan Mbak Yun jalan-jalan di kawasan wisata Kota Batu seharian penuh. Tapi karena tarjetnya adalah sunrise Bromo, aku pun harus melawan kantuk dengan cerdas. Eh, emang bisa, gitu? 😆 Bisa banget, dengan cara bobok lagi di sepanjang perjalanan Tumpang sampai Bromo. Dan tahu ngga? Di dalam Jeep, aku bisa tidur pules padahal jalan menuju Bromo, tuh, penuh liku dan tanjakan. Harap maklum, aku sudah terbiasa dengan rute jalan seperti itu. Hampir samaan dengan jalan menuju Dieng lewat Banjarnegara.
“Udah sampai Bromo, nih. Banguuun…banguun.” Suara Pakde Misbach ngga ada manja-manjanya. Ngga ada istilah bangunin pakai bisik-bisik, gitu. Hahaha. Aku pun langsung melek dan kaget karena melihat banyaknya Jeep yang sudah berderet di area parkir. Sepagi ini, sudah banyak orang berkeliaran di Gunung. Aah…ngga heran, namanya saja tempat wisata. Qiqiqi.
“Waaah…ini sudah di Bromo. Gunungnya gede amat. Cakep pula.” Batinku sambil memandang Gunung Batok yang saat itu kukira Gung Bromo. Ini otak kenapa ngga ada cerdas-cerdasnya, ya. Hahaha. Akhirnya…setelah menempuh perjalanan kurang lebih sembilan puluh menit, sampai juga di Bromo. 😀
Pasar Pagi Penanjakan, Bromo…Gunung Bromo memiliki ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut dan berada dalam empat wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Sebagai sebuah obyek wisata, Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif, memiliki lautan pasir yang luas dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Sesampainya di kawasan Bromo, kami langsung menuju Penanjakan, salah satu tempat khusus untuk menyaksikan matahari terbit, yang saat itu ramainya udah seperti pasar pagi. Ada yang nawarin naik ojek, ada yang ngajakin jalan kaki, ada yang minta digandeng karena kedinginan, ada juga yang colek-colek punggung karena pingin cepat menikmati sunrise. Ramai gedumbreng pokoknya.
Ada yang bilang, berburu sunrise di Penanjakan, kurang maksimal. Apalagi pas akhir pekan, ramaine pool. Dan ternyata memang betul. Banyaknya orang yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu melihat sunrise, membuatku agak deg-degan. Apalagi, hampir semua orang ingin mengabadikan moment sunrise dengan lensanya. Beruntung, wisatawan bisa kalem, ngga dorong mendorong seperti sedang nonton dangdutan di kampung. 😀
Asli, aku sudah sampai Penanjakan…HahahaKami di sini ngga begitu lama karena mataharinya saat itu ngga nampak penuh. Hanya semburat jingga saja. Tetap cantik, sih, cuma kurang gereget saja. Lagipula, masih ada beberapa destinasi yang akan kami datangi. Makanya, setelahnya langsung kembali ke area parkir Bromo dengan mengendarai Jeep kesayangan.
Aku baru merasakan asyiknya jalan di atas pasir dengan naik jeep. Jadi ingat iklan rokok apa, gitu. Saking pinginnya lihat pemandangan lepas, aku sama Mbak Yun minta duduk di atas Jeep. Norak banget, ya. Hahaha. Melihat panorama padang pasir dengan jelas, di sini lah aku merasa lemah, lalu memutuskan untuk dadah-dadah dengan Bromo dan lebih memilih mainan pasir.
Melihat ratusan anak tangga dan panasnya cuaca saat itu, dengan berat hati aku melambaikan tangan kepada Bromo. Padahal teman-teman nampak semangat untuk mencapai Bromo. Tapi sayang banget, semangatnya ngga nular ke aku. Hahaha. Yaudah, akhirnya mereka ngga naik dan kami duduk di sekitar Gunung Batok dan jalan-jalan di sekitar Pura Luhur Poten yang masih berada di kawasan Bromo. Andai aku putuskan untuk naik sampai Kawah Bromo, mungkin bisa sampai, sih. Tapi ngga tahu kenapa, mainan pasir lebih menggoda. Aku mainan pasir, sementara teman-teman yang lain pada pepotoan. Sama-sama menikmati. 😉
Cuaca makin panas, bola mataku bergerak pelan melihat arah Bromo. Saat itu juga aku meyakinkan diri. Tepat di samping Pura, aku berikrar bahwa aku pasti bisa sampai Bromo lagi. Entah kapan, yang jelas pingin ke Bromo bersama keluarga. Selain untuk menuntaskan mimpi, yaitu naik ke Bromo, aku ingin kembali ke Bukit Teletubbies. Rerumputan yang harusnya asyik banget buat indiahe-indiahe, saat itu sama sekali ngga bernyawa. Kata Pakde Misbach, kalau ke Bromo baiknya jangan di musim kemarau. Aku ke sini kalau ngga salah pas bulan September, lagi hot-hotnya. 😆