Menikmati Tiap Kilometer Perjalanan

Adakah diantara kamu yang jarang menikmati tiap kilometer perjalanan yang ditempuh tiap harinya? Saat menuju ke tempat kerja, misalnya. Ada banyak kilometer, kan?

Saya pribadi, tiap harinya menempuh perjalanan dari rumah sampai tempat kerja kurang lebih sepuluh kilometer yang saya tempuh dengan sepeda motor. Paling lama lima belas menit saya sampai di tempat kerja.

Memang cukup dekat jarak dari rumah ke tempat kerja. Tapi, sekarang terasa lama banget. Apalagi minggu-minggu ini. Bisa ditempuh dalam waktu setengah jam saja sudah beruntung. Jam kerja yang maju setengah jam pun seakan tak berpengaruh buat saya. Karena, sekarang saya lebih menikmati perjalanan dalam rangka bulan ramadhan. 😆 *demi apa banget bohong*

Saya berangkat dari rumah tetap pukul 07.00 WIB. Sebab, pada tiap kilometer, entah berapa kilo tepatnya, saya pasti berhenti untuk menepi jalan raya. Lebih banyak membutuhkan waktu untuk berhenti. Minimal dua menit, dan maksimal lima menit. Tetap berada di atas motor, sih. Hanya menepi saja. Karena mual banget.

Sejak berbadan dua, hampir tiap pagi hari saya mual-mual. Wajar banget, ya, masih masuk tri semester pertama usia kandungan. Saya kira tuh, mualnya cukup setelah sahur saja. Secara, makanan, buah, susu, yang sudah masuk tumpah semua, tuh.

Maunya, sih, ya. Tapi, yang namanya rejeki ngga ada yang tahu kapan datang. Sedang asyik-asyik jalan selow, tiba-tiba mual. Hanya mual saja, sih. Ngga sampai keluar suatu apa dari mulut. Tapi, namanya dalam perjalanan, naik motor pula, kan was was, ya. Maka dari itu, memilih berhenti dahulu.

Tadinya cukup menepi, tetap duduk di atas motor. Tapi, pas hari Rabu kemarin, kok rasanya ngga sanggup kalau hanya duduk di atas motor. Lemasnya minta ampun. Mau ngga mau harus turun dari motor, kemudian memilih tempat yang bisa untuk sekadar duduk. Ngga mampu nongkrong, euy.

Ada teman yang bilang, kalau saya terlalu memaksakan tetap naik motor. Hmm…bukan tentang memaksakan, sih, sebenarnya. Hanya saja, agak takut kalau saya tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai pekerja. Terlambat masuk, misalnya. Jadi, saya tetap naik motor selagi mampu.

Ada teman yang menyarankan untuk naik angkutan umum saja. Tapi, bagi saya terlalu banyak risiko. Namanya naik angkutan umum, khususnya di daerah saya, tidak bisa efisien waktu. Apalagi yang namanya angkutan desa, dimana Sopir bisa berhenti kapan saja dan dimana saja. Bisa berhenti pada tiap gang masuk Desa, pertigaan, untuk menunggu penumpang.

Selain itu, jika saya tiba-tiba mual, gimana coba? Masak mau minta berhenti, kemudian para penumpang diminta untuk menunggu di dalam angkot sampai saya agak lega. Emang saya anak sopir angkot, gitu? Serasa booking angkot, dong. 😀

Maka dari itu, saya lebih memilih tetap mengendarai sepeda motor. Menikmati tiap kilometer yang saya tempuh. Ngga mau merepotkan keluarga juga, sih. Ayang suami jelas ngga bisa mengantarkan. Secara, jam masuk kerja lebih awal dari saya. Lagipula, jalan kami berlawan arah. 😀

Ingin rasanya merepotkan Bapak ganteng. Tapi, ngga tega. :mrgreen: Selagi mampu, bisa sendiri, lakukan saja, ya. Terpenting tetap menjaga diri. Sebab, yang paling tahu baiknya seperti apa, ya hanya diri sendiri. 😉