Nyadran Gede di Pemakaman Ki Ageng Giring, Gumelem
Beragam tradisi untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan di beberapa daerah, Jawa Tengah khususnya, terus dilestarikan. Mulai dari Padusan, Keramas Masal, Dugderan, sampai pada Nyadran. Tentang tradisi ini, aku baru mengenal nyadran, itupun di desa sendiri. Makanya ketika mendengar ada acara nyadran gede, aku penasaran dan tertarik untuk mengikutinya.
Kamis (25/5), aku bersama suami, dan juga Yasmin mengikuti acara Nyadran Gede di Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis, seminggu sebelum ramadhan. Dipilih hari terdekat diantara dua hari tersebut.
Ini bukan kali pertama kami ke Desa Gumelem. Namun, menjadi pengalaman pertama kami mengikuti Nyadran Gede. Selain tradisi, Nyadran Gede merupakan acara tahunan yang telah masuk kalender event Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara. Tak heran, jika yang turut Nyadran bukan hanya masyarakat Gumelem, namun para kerabat Keraton Surakarta, dan Sekda Banjarnegara pun turut.
Sesampainya di Gapura masuk Desa Gumelem, kami berhenti di pos ojek untuk mencari informasi tentang lokasi Nyadran Gede.
“Lurus terus, sampai balai desa ambil kanan. Nanti sampai Pemakaman Ki Ageng Giring” Petunjuk yang aku dapat dari babang ojek cukup jelas. Kami pun permisi untuk melanjutkan perjalanan.
Menuju Pemakaman Ki Ageng Giring
Sepeda motor yang kami naiki melaju cepat karena ada rasa was was akan ketinggalan nyadran. Sampai di depan Balai Desa Gumelem Wetan, pertunjukan kuda kepang sudah dimulai.
“Duuh…bisa jadi, nyadran sudah dimulai.” Batinku pesimis karena di sekitar Balai Desa sepi. Hanya ada sekelompok anak muda yang sedang bermain kuda lumping. Kemungkinan besar aku tidak bisa ikut nyadran dari awal. Dan firasatku betul saudara-saudaraaaa!
Melewati jalan masuk pesarean Ki Ageng Giring, beberapa mobil ber plat merah sudah berjejer rapih. Atas saran dari hansip desa yang menjaga tempat parkir, kami pun melanjutkan perjalanan sampai kompleks Pemakaman. Luar biasa! Di kompleks pemakaman ini sudah ramai. Terlihat para tamu undangan duduk di sekitar Paseban Gumelem, tepatnya di pelataran pemakaman Ki Ageng Gumelem. Para pedagang yang berjualan di sekitar kompleks pemakaman juga ramai.
“Mari aku antar naik, Mbak. Nyadran baru saja dimulai.” Sebabang ojek yang mengenakan kaus biru menghampiriku, dan mengajakku naik. Aku pun kaget karena masih bingung melihat keramaian sekitar pemakaman.
“Baaang, memangnya mau naik kemana?” Tanyaku penuh penasaran, dan juga takut. Ya, takut diajak naik pelaminan. 😀
Setelah ngobrol bentar, ternyata kami akan diantar ke Pemakaman Ki Ageng Giring yang mana berlokasi di Bukit Girilangan. Ternyata kompleks pemakaman yang sudah ramai orang bukan Pemakaman Ki Ageng Giring, melainkan Ki Ageng Gumelem. 🙂
Ke Bukit Girilangan Bareng Babang Ojek
Babang ojek ini baik banget. Melihat aku bawa ransel merah, mungkin dia tahu kalau aku bukan warga Gumelem. Usut punya usut, setelah ketemu dengan Pak Udin, Kasi Umum Dinbudpar, ternyata semua babang ojek yang mengenakan seragam biru ini memang sudah ditugaskan untuk mengantar siapapun yang akan ke makam Ki Ageng Giring.
Jalan menuju makam Ki Ageng Giring merupakan jalan bebatuan, dan belum diaspal. Bebatuan kecil yang sudah tidak tertata, dan tanjakan yang cukup terjal membuatku cukup merinding karena aku membawa Yasmin. Akhirnya kupercayakan perjalanan ini kepada Babang Ojek. Kalau kata suami, mending lambaikan tangan, atau jalan kaki ketimbang dia harus nyetir motor sendiri. 😆 😛
Babang ojek berhenti di bawah tanjakan menuju pemakaman. Kami pun turun, dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Ngos-ngosan sudah barang pasti karena pemakaman Ki Ageng Giring berada di bukit. Berjalan kurang lebih lima menit, kami sampai Bukit Giringlangan, tempat keranda Ki Ageng Giring dimakamkan.
Kenapa yang dimakamkan hanya kerandanya saja? Nanti aku tulis terpisah, ya. 😛
Nyadran di Pemakaman Ki Ageng Giring
Enam laki-laki yang mengenakan pakaian adat jawa berjaga di pintu utama pemakaman. Di sini ternyata tidak kalah ramainya. Banyak masyarakat yang membawa ancak (talam dibuat dari anyaman), pejabat daerah, dan anak-anak sekolah pun turut menghormati acara ini.
Sayup-sayup terdengar suara tahlil dari cungkub atau makam Ki Ageng Giring. Aku betul-betul terlambat karena menurut Mbah Darisan, wakil juru kunci sekaligus tukang sapu pemakaman ini, nyadran atau ziarah sudah berlangsung, dan tidak lama lagi selesai. Kami pun turut bergabung di pelataran cangkub, dan membaca lanjutan tahlil yang dipimpin oleh juru kunci makam.
Usai mendoakan Ki Ageng Giring, satu per satu pejabat daerah keluar dari cungkub. Beberapa dari mereka ada yang kembali turun menuju kompleks pemakaman Ki Ageng Gumelem. Selebihnya, menunggu di bukit girilangan untuk menyantap hasil bumi yang telah disediakan.
Aku kira nyadran telah usai, tapi ternyata belum. Sebelum adzan dzuhur berkumandang, juru kunci masih mempersilakan pengunjung untuk mendoakan Ki Ageng Giring. Setelahnya, barulah dimulai ritual adat nyadran, dan kenduri atau makan bersama di kompleks bukit girilangan. Merasa masih ada kesempatan, kami pun turut bergabung, tahlil, dan doa bersama di makam.
Sedihnya, Kami Gagal ikut Kirab
Kirab Babad Dalan Giling, dan Kirab Adat Sadran Gede. Dua kirab ini terlewati karena kami telat datang. Padahal, dua kirab ini sangat aku nantikan. Menyedihkan, bukan. 🙁
Menyaksikan puluhan perempuan menggendong ancak, seperti melihat perjuangan pada dahulu kala. Apalagi ini digendong dari Balai Desa Gumelem menuju Bukit Girilangan dengan jarak tempuh kira-kira 1 km. Betul-betul taat, dan penuh pengabdian, ya.
Belum lagi iring-iringan kirab yang diikuti para sesepuh Desa, juru kunci makam, dan pejabat daerah yang mengenakan baju kebesarannya, baju adat khas Jawa. Rasa-rasanya seperti kilas balik enam abad yang lalu, di mana para pengikut, dan para santri Ki Ageng Giring dengan setia menemani perjalanan Ki Ageng Giring kemanapun.
Sayang banget saat itu kami tidak menyaksikan moment tersebut. Semoga diberi umur panjang, tahun depan bisa datang lebih awal untuk turut kirab, dan tentunya dengan jalan kaki tanpa babang ojek supaya bisa menikmati tradisi nyadran gede. Bisa lebih khidmat mengikuti tradisi Nyadran Gede.
Kenduri, atau Makan Bersama di Bukit Girilangan
Adzan dzuhur berkumandang. Seluruh masyarakat bersiap-siap untuk makan bersama. Mempersiapkan nasi giling beserta lauk tradisional yang sudah dibawa oleh masyarakat Gumelem Wetan.
Siap makan bersama…Di Bukit Girilangan terdapat semacam pendapa khusus untuk acara. Makanan pun ditata, berjejer memenuhi bukit untuk dikepung bersama. Sementara para tamu undangan yang nyadran di pemakaman Ki Ageng Gumelem turut bersiap-siap untuk acara Pisowanan di Paseban Gumelem. Pisowanan di sini merupakan acara puncak Nyadran Gede. Acara ini diisi dengan sambutan-sambutan, santap ancak, dan tenong.
Masyarakat Gumelem santap ancak di Bukit Girilangan. Sementara para tamu undangan di Paseban Gumelem. Karena pukul 14.00 WIB Ayah Yasmin ada keperluan, kami pun tidak ikut bergabung menikmati ancak. Berdoa lagi, semoga tahun depan bisa mengikuti nyadaran dari awal sampai akhir. 😉
Hastira
wah bentuk kearifan lokal yang patut dilestarikan, aku suak sih lihat2 acara spt ini
Nasirullah Sitam
Paling seru itu saat makan bareng-bareng. Di sana kita akan tahu bagaimana banyaknya kuliner di suatu tempat dengan rasa yang berbeda. Rata-rata kalau makan malam seperti ini lebih banyak yang disuguhi itu Ingkung (Ayam)
Anisah Ku
Kejawen banget yaa… ngomong – ngomong kalau yang kayak gitu berbaur syiri’ ngak sih????
Reni Dwi Astuti
Wah nggak kebayang bisa ikut acara tradisi seperti ini? btw, masih belum paham apa itu “nyadran”?
Ella
Asiqueeeeeeee