Menekan Pernikahan Dini Ala GenRengers Educamp
Menekan Pernikahan Dini – Dalam perjalanan menuju Purbalingga menggunakan moda transportasi umum, mini bus, aku duduk bersebelahan dengan seorang Ibu yang baru saja mengurus persyaratan perceraian untuk anak perempuannya. FYI, kami sama-sama naik dari depan kantor Pengadilan Agama Banjarnegara.
“Alhamdulillah…akhirnya dapat informasi juga. Mau ke mana, Mbak?” Ibu paruh baya mulai membuka percakapan.
“Mau ke Purbalingga, Bu.” Jawabku simpel dan mungkin terkesan enggak komunikatif.
Jujur, aku agak gugup menjawab pertanyaan dari Ibu yang belum aku kenal. Aku juga merasa khawatir kalau nanti si Ibu akan bertanya perihal perceraian karena saat itu saya mengenakan seragam kantor. Ya…meskipun saya dobel dengan jaket dan enggak terlihat atribut yang menempel pada pakain dinas harian. Tetap saja was was rasanya, takut enggak bisa kontrol batasan komunikasi karena sudah di tempat umum, bukan lagi di tempat kerja. 😀
Pikirku, mending terlihat sok sibuk memegang gadget ketimbang mengobrol dengan orang yang enggak aku kenal. Tapi enggak disangka si Ibu begitu komunikatif sampai pada akhirnya aku tahu bahwa beliau akan mendaftarkan cerai untuk anak perempuannya yang baru beberapa bulan lalu menikah. Dan aku agak kaget juga, saat si Ibu bercerita kalau anaknya saat menikah baru berusia 17 Tahun. Artinya, saat anak tersebut menikah sudah pasti mengajukan Dispensasi Kawin (Diska).
Buru-buru menikah, tapi berakhir pada perceraian. Miris, bukan?
Angka Pernikahan Dini Di Indonesia.
Dasar Hukum Dispensasi Nikah adalah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 di dalam Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 Tahun. Namun aturan tersebut telah diperbaharui dengan Undang-Undang No.16 tahun 2019 pada Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 Tahun.
Perubahan Undang-Undang tersebut tentu bukan tanpa sebab. Perkawinan pada usia anak banyak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. Ya, perkawinan di usia dini memang rentang dengan masalah.
Membaca artikel di laman web UNDIP, menuliskan bahwa saat ini angka perkawinan anak mencapai 1,2 juta kejadian. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21 persen dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Ada beberapa sebab kenapa angka pernikahan dini semakin meningkat setiap tahunnya. Diantaranya yaitu karena pendidikan rendah dan menyebabkan anak perempuan menjadi putus sekolah. Merasa minim bekal untuk bekerja karena berpendidikan rendah, akhirnya mereka lebih memilih untuk menikah di usia dini.
Banyak masyarakat, khususnya di Desa, memiliki kepercayaan bahwa perempuan menikah di atas dua puluh tahun bukanlah usia yang ideal untuk menikah. Bisa dibilang sudah masuk usia tua. Padahal anak belum tentu siap baik secara fisik maupun mental jika menikah di bawah usia 20 tahun meskipun si anak saat itu juga terlihat dalam kondisi baik dan siap.
Keterlibatan GenRengers Educamp yang Turut Menekan Pernikahan Dini.
Dalam menekan angka pernikahan dini, tuh, enggak mudah. Program-progam dari pemerintah untuk terus menekan angka perkawinan anak tentu enggak dapat maksimal tanpa kerjasama atau kolaborasi dari berbagai pihak. Contohnya program dari Kemenag yaitu mencanangkan pemberlakuan Sertifikasi Nikah pada 2020 yang wajib dimiliki oleh setiap pasangan yang ingin menikah untuk menurunkan angka perceraian, pernikahan di bawah umur, dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Program dari pemerintah tentu akan lebih maksimal jika ada kolaborasi dan sinergi. Seperti yang dilakukan oleh sebuah komunitas dari Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat yaitu Komunitas GenRengers Educamp. Meskipun mereka enggak berkolaborasi dengan pemerintah, namun mereka punya visi dan misi yang sama salah satunya yaitu menekan pernikahan di bawah umur.
Berbentuk aktivitas camp yang secara rutin digelar sebagai bentuk pendidikan alternatif, GenRengers Educamp dibentuk untuk melahirkan relawan yang peduli dan paham soal isu-isu kesehatan khususnya pernikahan usia dini dan pola pergaulan remaja. Keren, bukan?
Nordianto, Superhero dari Kubu Raya yang Menggagas GenRengers Educamp.
Tahun 2018, Nordianto menjadi salah satu penerima apresiasi bidang Kesehatan dalam ajang Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards yang diselenggarakan oleh PT Astra International Tbk.
Memiliki nama lengkap Nordianto Hartoyo Sanan, ia mengaku membentuk GenRengers Educamp karena termotivasi dengan kisah Superhero yang kerap ditontonnya sejak kecil. Karakter Superhero memang kerap menjadi idola bagi anak-anak karena perilaku baiknya yang suka menolong orang. Bayangan untuk membantu orang pun sering hadir dalam benak Nordianto. Ia yakin bahwa siapa pun bisa mengambil peran untuk menjadi pahlawan, minimal di lingkungannya.
Lewat kegiatan GenRengers Educamp yang ia gagas pada Tahun 2016, aktivitas menghadirkan jiwa-jiwa kepahlawanan pun ia bangun. Bersama tim ini, dalam dua pekan sekali, Anto sapaan akrabnya, merancang dan mengadakan kegiatan educamp di pelosok daerah Kalimantan Barat yang rentan dengan tingginya angka perkawinan usia dini serta pergaulan remaja yang bebas.
GenRengers Educamp sudah melibatkan 14 kabupaten kota sepanjang 2016. Hebatnya lagi, di tahun berikutnya berhasil melibatkan 5 Provinsi selain Kalimantan Barat. Dan kini, Nordianto sedang menjalankan study di Luar Negeri. Setelah sukses menjadi volunteer untuk program European Union sebagai pengajar Cross Cultural Understanding di Polandia, kini ia berkesempatan untuk study yang masih berkaitan dengan program-programnya bersama GenRengers.
pemuda ini tidak serta-merta melarang anak muda untuk menikah. Akan tetapi ia mengajarkan berbagai hal tentang kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, serta pentingnya kemandirian ekonomi dalam membangun rumah tangga. Hasil akhir yang ia harapkan, anak muda mampu menyerap informasi yang telah ia bagi, hingga menyadari sendiri bahwa perkawinan usia muda memiliki banyak dampak buruk.
Dalam percakapan aku dan Kak Nordianto melalui WhatsApp, ia menyampaikan harapan perihal kegiatan Educamp yang dilakukan oleh GenRengers. Ia berharap akan selalu lahir relawan baru untuk mengambil peran menekan tingginya angka perkawinan dini di daerah masing-masing.
Sosok Nordianto ini betul-betul menginspirasi. Enggak mudah melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menekan angka pernikahan di usia muda, lho. Apalagi jika kepercayaan masyarakat perihal usia 20 plus itu sudah masuk dalam usia tua dan harus segera menikah, berat. Aku yang bekerja di bagian pelayanan publik seperti penerimaan perkara Dispensasi Kawin kadang “gemas” ketika melihat berkas permohonan Diska yang mana usia calon pengantin di bawah 16 Tahun. 😀
Semoga semakin banyak GenRengers yang terbentuk di Kabupaten/Kota, ya. Supaya anak-anak atau remaja semakin paham bahwa pernikahan yang dilakukan di usia dini, tuh, selalu menyisakan persolan. Selain memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), perkawinan anak juga memengaruhi Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKK).
Dan semoga, mereka yang gagal mempertahankan pernikahan di usia muda bisa melakukan sharing dengan teman-temannya perihal masalah-masalah yang dialaminya. Begitu juga dengan orang tuanya. Seperti si Ibu yang duduk bersebelahan dengan aku, dia juga sempat berbagi pengalaman menikahkan anak di usia dini. Karena nada bicaranya saat itu cukup keras, jadi yang dengar enggak hanya aku. Ya…semoga dapat diambil hikmahnya, ya. 🙂
Leave a Reply