Oleh-oleh Istimewa di Tiap Perjalanan
Dosen Etika Profesi zaman saya masih kuliah pernah mengatakan, bahwa saya termasuk tipe wanita yang melankolis. Kaget banget saat mendapat predikat tersebut. Meski ngga dominan melankolis, tetap saja terkejut. Yaaa…saya kan jarang terharu. Wajahnya pun ngga sendu-sendu amat. Garang. 😀
Ini ngga asal tebak, lho. Seluruh Mahasiswa disodori selembar pertanyaan yang sudah ada jawabannya berupa pilihan ganda, gitu. Kemudian kami mengisinya, dan selanjutnya lembar tersebut diserahkan kembali ke Dosen untuk dinilai berdasarkan tipe kepribadian. Tapi sayang banget, saya lupa tepatnya lebih cenderung pada Plegmatis atau malah Antagonis. 😛
Saya perhatikan, Si Melankolis yang hanya berapa prosen ini lebih sering mengikuti saya ketika berada di luar rumah. Melankolis untuk mereka, para orang tua yang masih terus semangat mencari rejeki. Mereka yang berdagang.
Ada rasa bahagia saat melihat mereka yang sudah menua, tapi tidak menunjukkan sifat lemah sedikitpun. Justru yang terpancar adalah aura positif. Ini yang membuat saya mudah terharu. Melihat sosok orang tua yang terus semangat mencari rejeki. Meski tidak tahu latar belakang mereka seperti apa.
Terkadang ada beberapa orang yang mengclaim bahwa mereka adalah para orang tua bermuka dua. “Aaah…itu hanya pura-pura saja. Mengenakan baju seperti itu biar mendapat perhatian orang lain. Atau, hati-hati dengan mereka. Siapa tahu mereka orang jahat.” Kalau mereka membawa barang dagangan ya nggalah, ya. Yaaa…begitulah pendapat.
Tapi susah! Saya susah untuk peduli apa kata orang untuk hal ini. Semacam ngga peduli mereka punya niat baik atau sebaliknya. Hati-hati dan waspada sudah barang pasti. Namun, saya tetap berusaha untuk berkomunikasi. Bukan memaksa, melainkan menjalin hubungan baik.
Entah kenapa, tiap saya berjumpa dengan mereka, yang terbayang adalah keluarga saya. Saya banyak berandai-andai yang kurang baik.
“Andai nenek yang terus berjalan menawarkan waluh adalah nenek saya. Keluarga saya.” Masak saya harus membiarkannya begitu saja. Cara berjalannya saja sudah susah. Nampak letih. Pakaian, Jilbab, dan Jarik Batik yang dikenakannya pun sudah cukup lusuh. Hiks…dari situ saya mulai terharu. Terlalu berlebihan memang. Mungkin ini yang dinamakan melankolis, ya.
Ada yang bilang, antara kasihan dan peduli tuh beda tipis. Tapi, menurut saya kok beda banget, ya. Entahlah….yang jelas, saya akan merasa lega manakala sudah berkomunikasi dengan mereka. Tidak hanya lega. Ada rasa bahagia yang tak terhingga.
Serius, tidak usah berlebihan jika memberi penilaian jelek kepada mereka. Semisal memang tidak berkenan untuk membeli, ya abaikan saja. Membantunya tidak harus dengan cara membeli barang dagangannya. Sapa santun saja sudah cukup membuat mereka bahagia. Lagipula, apa yang mereka tawarkan bukan barang mewah. Adalah barang dagangan yang sederhana, sesuai dengan kemampuannya dalam berdagang.
Btw, apakah teman-teman pernah mendapat oleh-oleh serupa saat dalam perjalanan? 🙂
mawi wijna
Hmmm… sebagai seorang yang sering dibilang tidak peka :p, hal pertama yang terlintas di pikiranku pas melihat pemandangan seperti foto pertama di atas adalah
“Kenapa si nenek berjualan seperti itu?”
Tentunya punya alasan kenapa jualan, ya. Hahaha 😀
Biasanya pikiran seperti itu nggak aku tindak lanjuti lebih jauh. Kecuali kalau misalkan si Nenek mengajak berinteraksi semisal menawarkan barang dagangannya. Tapi biasanya sih aku tolak (entah kenapa aku masih terbawa ajaran orangtua supaya nggak mudah menerima barang pemberian orang lain).
Bukan pemberian, Kak. Beli iiih. 😀
Nah, baru semisal si nenek terlihat gigih menawarkan barang dagangannya, interaksi bisa berlanjut dengan mencari tahu pertanyaan “Kenapa” di atas. Jadi aku bisa tahu apa yang melatar-belakangi si nenek melakoni hal tersebut.
Walaupun ya seringnya sih aku memandang hal-hal seperti ini sebagai bentuk ketidakberdayaan usaha kecil menghadapi gempuran pasar…. ah panjang banget komenku 😀 (5 menit nulis ini)
Hahahaha…khikmat dan khusyuk banget komennya, ya. 😀
Una
Bermuka garang, berhati Tweety… 🙂
Aaah…Tante bisa saja. 😛
Lidya
AKu suka gak tega lihat kakek-kakek atau nenek2 jualan
Melankolis berarti. 😀
Lusi
kesan pertama langsung laksanakan aja kalau aku. Sebab kalau mikir panjang akhirnya jadi melihat kemungkinan2 dibohongi gitu. Takutnya orang tsb jg benar hrs ditolong. Kalau kesan pertama kasihan, langsung aja diborong dagangannya. Kalau kesan pertama nggak, ya nggak. Biar nggak capek mikir.
Sini tak pijit pikirannya, Mbak. 😀
Gylang Tanzila
Perempuan itu memang mudah terharu ya, 😀
Kalau laki2nya kek Om, mudah terharu juga kan? 😛
ennylaw
Kalau aku sih yg penting bukan pengemis. Kalau barang dagangannya memang masih wajar biasanya aku beli meski gak butuh. Hitung2 mengapresiasi orang tersebut karena menjaga dirinya dari meminta2.
Setju banget dengan komen kamu, Mbak. 😀
Alris
wah nenek itu adalah type pejuang, salut.
Senang, ya! 😀
Salman bluepackerid.com
Kadang yang jualan itu lebih bagus daripada yang minta-minta gitu, lebih baik membantu yang jualan sih menurut ku
Setuju banget, deh. . 😀
Jiah
Aku kok ya jg mikir, kalo mereka adl keluargaku gmn? Sedih, ya bantu sebisanya
Iyaaa…bantu semampunya, Jiah. 😀
Donna Imelda
Aku juga melankolis lho, tp sebenarnya itu artinya bukan orang yg gampang terharu seperti istilah lagu, tp lebih bahwa orang melankolis itu orang yg terplanning, terjadwal, perencana yg baik dan selalu berusaha sempurna.
Soal nenek itu… pengennya kalau bisa dibantu, dibantu semampunya. Kalau ndak, ya minimal mendoakan.
Ini arti lebih ke jiwa, sih, Mbak Dosen. Hihihi Iiih…suka banget sama komen kamu, Mbak. 😀
Evi
Kalau yang jualan ibu-ibu atau bapak-bapak yg sudah sepuh banget seperti ini aku juga membayangkan bapak dan ibuku, Mbak Idah..makanya aku akan membeli barang mereka, sekalipun akhirnya tak menggunakannya..Seperti waktu di Selecta beli kerupuk hanya gara-gara penjualnya sudah tua banget. Padahal aku tidak makan kerupuk. Sebab kalau memberi uang begitu saja tak enak hati juga, mereka toh bukan penggemis…
Benar sekali. Meskipun kita ngga doyan ya, Bu. 😀
E. Novia
Itu namanya melankolis ya? Tapi saya lebih suka dibilang “Care”, haha.
Aku juga gitu, ga pernah tega liat mereka yg udah tua masih semangat kerja, bahkan kadang sampai Malu krna mereka aja yg udah tua semangat, lah saya yg masih muda suka patah semangat.
Saya juga ga peduli omongan org ttg bermuka Dua atau apalah yg negatif. Yg penting saya berusaha melakukan kebaikan, Niat baik kan memang tidak selalu berhasil baik. Tapi kalau qta tdk memulai berbuat baik, siapa lagi yg Akan memulai ;). So, tetep menanam EMPATI dan semangat berbuat BAIK 😉
Aaah…Kakak Care bangettt ih! 😀
Ila Rizky
Sering nemu juga kayak gini biasanya di jalanan pusat kota muterin barang dagangannya, 🙁
Peduli ya, Mbak. 😀
Bimo Aji Widyantoro
Ditempat ku di Makassar juga ada kayak gini, ada kakek yang jualan mangga di pinggir jalan, emang sih mangga yang dijual tidak terlalu manis, tapi berkah saat membantunya dengan menyisihkan sedikit rezeki kita itulah yang paling manis
Alhamdulillaah. Semoga bisa terus membantu ya, Kak. 😀
Icoel
hem…aku apa ya? setia liat kaya gini langsung ikut melas & sedih gitu. jarang mikir “Bohong…”-nya
tapi aku orangnyajuga garang aslinya
Sudah kelihatan kalau Garang! 😀
fanny fristhika nila
sering mba.. aku mudah terharu dgn pemandangan yg kyk di atas.. suami yg biasanya lbh hati2… suka ingetin jgn trlalu gampang percaya… tp tetep aja kalo feelingku bilang mereka bukan bermaksd jelek, aku biasanya beli dagangannya..walo memang ga perlu.. mikirnya sih, udh mnding mrk mw kerja, jualan, drpd minta-minta ato ngemis toh?
Waspada tetap perlu ya, Mbak. Tapi tetap peduli. 😀
Sarah
Lihat kondisi ini..salut dengan semangatnya dan pertanyaan pertama yang sering muncul, “kemana ya anak2nya?”..
Anaknya sedang mencari rejeki juga, Kak. *berpikir positif* 😀
Gylang Tanzila
Bantu selagi mampu, jangan nunggu mau,
Insya Allah, Om. 😀 😀
semberanirental
terima kasih untuk artikelnya .. semangat terus ya
Kamu yang semangat juga berkunjung ke sini, ya. 😀