5 Destinasi Wisata Lasem yang Wajib Dikunjungi

Aku kembali merasakan rindu pada sebuah destinasi wisata yang telah aku kunjungi. Setelah tahun lalu ada Lampung yang membuatku betah berlama-lama di sana karena banyaknya potensi pariwisata yang menarik dan rapihnya tiap sudut kota di sana. Kali ini, rindu sedang tertuju pada Lasem.

Sabtu, 20 April 2019, aku bersama teman-teman Jateng On The Spot mengeksplorasi Lasem, sebuah Kecamatan di Kabupaten Rembang yang menjadi kota terbesar kedua setelah Kota Rembang. Destinasi wisata Lasem telah aku masukan ke dalam daftar kunjungan wisata, sudah dari tiga tahun yang lalu, tepatnya setelah aku bertemu dengan Mbak Agni dalam kegiatan bimbingan teknis. Dia merupakan salah satu penggiat wisata di Lasem dan menjadi bagian dari pengelola website kesengsem lasem.

Berangkat dari Semarang pukul 07.00 WIB dengan mengendarai Bus, kami tiba di Lasem kira-kira pukul 10.45 WIB. Tujuan utama kami saat itu yaitu memperingati Hari Kartini di tanah Rembang, kemudian esok harinya dilanjut dengan menyusuri beberapa destinasi wisata di Lasem yang sangat terkenal. Apalagi kalau bukan bangunan tua berikut sejarahnya yang sangat menarik untuk diikuti. Ya, di sini banyak warisan atau peninggalan sejarah yang unik dan menarik. Makanya, tak jarang ketika seorang Traveller mengunjungi Rembang, Lasem pun menjadi tujuan utama untuk kegiatan traveling.

Sesampainya di kawasan Lasem, aku nyaris tidak percaya jika di dalam kawasan yang mempunyai julukan “Tiongkok Kecil” ini banyak bangunan tua. Bisa jadi karena minimnya signage dan atau ikon sebagai tanda di sepanjang jalan menuju kompleks wisata Lasem. Pun saat masuk gang menuju destinasi wisata tersebut. Sampai akhirnya aku baru baru tahu kalau kami sudah berada di sebuah destinasi wisata yang sangat terkenal di Lasem, yaitu Klenteng Cu An Kiong, saat Pak Mardiyanto sebagai sopir Bus mulai pelan menjalankan Busnya dan parkir tepat di depan Klenteng.

Hal pertama yang aku lakukan di Klenteng ini yaitu melihat monumen perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa melawan VOC yang berada di depan Klenteng sebelah kiri. Sembari menunggu guide lokal yaitu Pak Irawan dan Pak Toro, aku mengeluarkan kamera untuk mulai mendokumentasikannya karena pasti sayang banget jika sampai ada yang terlewatkan.

Kalian ingin tahu apa saja destinasi wisata di Lasem, dan seperti apa kondisinya saat ini? Yuk…ikut aku menyusuri destinasi wiasta Lasem yang kental akan sejarah dan juga budayanya. 😉

Terkagum dengan Klenteng Cu An Kiong

Klenteng Cu An Kiong adalah klenteng tertua di Lasem, dan juga Jawa. Berlokasi di Jl. Dasun No. 19, Desa Soditan, Klenteng ini dibangun dengan sentuhan seni tinggi yang mana di dalamnya juga terdapat banyak simbol penuh makna yang sukses membuatku terkagum-kagum.

Dimulai dari gapura dan juga pintu tengah Klenteng yang begitu unik dan beda dari Klenteng pada umumnya. Terdapat dua patung Singa berwarna emas, dan dua tokoh masing-masing membawa senjata yang seolah menjaga Klenteng tersebut.

Memasuki bagian teras, aku meraba pahatan huruf China, dan gambar dua tokoh Tionghoa-Lasem pada salah satu pintu yang terbuat dari kayu jati. Konon, dua tokoh yang bernama Bi Nang Un dan isterinya, Na Li Ni, pernah mengajarkan batik pada penduduk. Tentang tulisan-tulisan China, baik Pak Irawan maupun Pak Toro tidak paham arti dari tulisan tersebut karena minimnya pengetahuan.

Memasuki ruang tengah, aku kembali terkagum dengan mural monokrom. Mural 100 panel ini tergores pada kanan dan kiri dinding. Mural ini mengisahkan tentang Fangshen Yanyi (kisah terciptanya desa-dewi) yang diambil dari ‘komik’ Fangshen Yanyi atau kisah mitologi Dewa-Dewi Taois karya Xu Zhonglin. Saking detailnya torehan tinta pada mural tersebut, sampai sekarang mural masih terlihat dengan jelas dan bagus banget.

Selain monokrom 100 panel, ada juga monokrom dewa-dewa langit. Monokrom ini dapat dilihat di bagian altar tepatnya di dinding sebelah kanan dan kiri. Ada lebih dari 30 dewa langit di sini. Masih pada bagian altar, tepatnya di pojok kanan, terdapat beberapa senjata yang digunakan pada masa perang. Menurut Pak Irawan, banyak senjata yang dibawa oleh Belanda pada saat perang. Penjarahan oleh tentara Belanda pada masa penjajahan juga diyakini turut menghilangkan bukti sejarah Klenteng Cu An Kiong. Konon, Belanda mencuri catatan penting tentang klenteng ini dan klenteng-klenteng di Jawa. Informasi ini diketahui ketika beberapa pengurus kelenteng di Indonesia mengunjungi Museum khusus Indonesia di Den Haag. Di sana, catatan tentang klenteng di Jawa cukup lengkap.

Masih di bagian altar, di sini ada altar yang tidak boleh didokumentasikan oleh wisatawan, yaitu altarnya Dewi Ma Zu. Dewi Ma Zu ini merupakan Dewi Laut yang dipuja oleh pelaut dan juga perantau yang mengarungi lautan supaya mendapatkan cuaca bersahabat dan keselamatan ketika hendak melaut. Karena saking dipujanya, Dewi Ma Zu diletakkan pada altar utama klenteng ini.

ALTAR-KLENTENG-CU-AN-KIONG

Melihat detail tiap sudut bangunannya, Klenteng ini betul-betul memiliki karakter yang membuat wisatawan penasaran akan tiap detailnya. Namun sama seperti Klenteng lainnya, di sini terdapat kotak ramalan dan juga lampion. Selebihnya, di bagian kiri Klenteng terdapat bangunan baru yang dimanfaatkan untuk Altar dan penyimpanan tandu yang digunakan untuk perayaan Cap Go Meh.

Klenteng Cu An Kiong sangat dijaga karena selain sebagai tempat ibadah, klenteng ini menyimpan banyak sejarah khususnya bagi penduduk Lasem. Makanya, tidak heran jika depan klenteng dipasang sliding pagar besi berwana merah setinggi atap klenteng tersebut.

Jejak Menarik di Lawang Ombo

Berjalan kurang lebih lima puluh meter dari Klenteng Cu An Kiong, kalian akan menemukan bangunan tua dengan dinding tebal dan tinggi yang bernama Lawang Ombo atau yang juga dikenal dengan nama Rumah Candu. Seperti namanya Lawang Ombo, ukuran lawang atau pintu yang ada di sini, tuh, lebar. Kira-kira lebarnya sampai tiga meter. Bangunan dinding yang mengelilingi rumah ini pun khas bangunan  zaman dulu; tinggi, tebal dan masih terlihat kokoh tak kenal usia.

Disebut sebagai Rumah Candu, konon rumah ini digunakan sebagai akses penyelundupan candu (ganja) pada zamannya. Jejak-jejak tentang lorong candu pun masih ada di sini, termasuk peninggalan benda tak bergerak berupa Jangkar Kapal Tua yang diduga punya si pemilik rumah yaitu Kapiten Lim.

“Rumah ini diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-18 dengan pemiliknya adalah Lim Cui Soon atau Kapiten Lim. Nanti kalian akan melihat bukti-bukti tersebut di samping rumah ini.” Pak Irawan mulai bercerita tentang sejarah Lawang Ombo disertai dengan kisah-kisah menarik lainnya seperti adanya sungai yang sangat luas sebagai tempat para saudagar dari Tiongkok mendarat menggunakan perahu kecil. Sungai ini berada di depan Klenteng Cu An Kiong. Konon, di sini juga Laksamana Cheng Ho pertama kali mendarat.

Rumah ini sudah tidak dihuni oleh pemiliknya –pewaris rumah–, namun demikian masih terdapat Altar yang digunakan untuk sembahyang oleh keluarga Lim tiap kali datang ke rumah ini. Altar ini digunakan untuk pemujaan kepada leluhur, mendoakan keluarga yang sudah meninggal. Sebagai informasi, sampai saat ini foto-foto pada bagian kanan kiri altar terpampang foto-foto keluarga Lim.

Ada sensasi tersendiri ketika menyusuri tiap ruang, bahkan lorong Rumah Candu. Meski ramai-ramai, tetap saja ada detak jantung tidak terkendali. 😆 Terlebih saat masuk lorong candu, sebuah lorong yang sampai sekarang masih terdapat genangan air yang dulu digunakan untuk menghanyutkan candu. Suhu di ruang ini terasa berbeda, dingin. 😀 Jejak Kapiten Liem juga dapat dilihat dari pemakaman keluarga atau Bong yang berada di samping kanan rumah ini.

 Suguhan Atraksi dan Kuliner di Rumah Merah

Rumah Merah menjadi salah satu bangunan termegah di Lasem. Rumah ini memiliki dua pintu; pintu utama bergaya China terbuat dari kayu dengan lebar mencapai 2 meter, sedangkan pintu lainnya yaitu pintu besi bercat merah. Rumah Merah ini milik Rudy Hartono, seorang pengusaha toko elektronik terkenal di Rembang. Rumah ini dibeli dari generasi ke lima keluarga Tionghoa Lasem.

Memasuki Rumah Merah, kami akan disambut oleh para pramusaji yang sangat ramah. Mereka juga menawarkan segelas Sirup Kawista yang dingin dan segar. Minuman yang terbuat dari bahan pohon kawista ini menjadi salah satu oleh-oleh khas Rembang. Rasanya legit, dan aromanya khas sekali. Kemudian, wisatawan akan diarahkan ke bagian tengah rumah yang mana terdapat beberapa kamar yang disewakan. Tidak jauh dari ruang tengah, terdapat Altar yang dapat digunakan oleh siapa saja yang akan beribadah.

Keluar dari penginapan, tepatnya di bagian belakang rumah, wisatawan akan menjumpai dinding panjang berwarna merah menyala dan juga sumur tua berwarna kuning. Di tempat ini lah banyak wisatawan berswafoto karena memang menarik. Barang-barang antik pun dipamerkan di Rumah Merah. Mulai dari peralatan memasak zaman dahulu, sampai dengan toilet dan tempat tidur zaman dahulu.

Rumah yang dibangun pada tahun 1800-an, telah mengalami pemugaran namun tidak mengurangi kesan megah. Rumah ini sengaja dipugar karena digunakan untuk penginapan oleh pemiliknya. Rudy Hartono telah mengonsep Rumah Merah menjadi destinasi wisata yang asyik. Ya, awalnya rumah merah ini hanya memaksimalkan penginapan saja, namun tidak ingin ketinggalan dengan destinasi wisata di kota lain, Rudy membuat paket wisata menginap yang mana di dalamnya terdapat atraksi yaitu belajar membatik, mewarnai batik, dan menikmati kuliner khas Rembang.

Lalu, apa saja kuliner khas Rembang yang ditawarkan oleh Rumah Merah?

Pertama yaitu Lontong Tuyuhan. Lontong atau makanan yang terbuat dari beras kemudian dibungkus dalam daun pisang dan dikukus menjadi bahan utama kuliner ini. Karena pembuat dan penjual makanan ini berasal dari Desa Tuyuhan, maka namanya menjadi Lontong Tuyuhan. Rasanya menjadi gurih ketika lontong disiram dengan kuah kental yang pedas. Untuk lauknya, lontong tuyuhan ini ditambah dengan sepotong ayam jawa. Jadi hampir mirip opor.

Kedua yaitu Dumbek. Makanan tradisional yang dibungkus dengan daun lontar sekilas terlihat sama dengan jenang hanya beda cara pengemasannya. Bentuknya unik, menyerupai terompet. Dumbek ini terbuat dari tepung beras, santan, dan gula merah. Rasanya? Tentu manis dan juga gurih.

Ketiga yaitu Yopia. Kue kering berkulit tipis dan berisi gula jawa ini mirip Nopia, penganan asal Banyumas. Hanya saja beda tekstur. Isi gula jawa milik Yopia ini tidak sepadat Nopia. Kulitnya pun lebih keras dibanding dengan Nopia. Untuk bentuknya, Yopia ini lebih mirip bakpao versi kecil. 😉

Seseruan dengan Mobil ATV di Pantai Karang Jahe

Destinasi wisata yang terakhir adalah bonus! Yaitu Pantai Karang Jahe. Aku bilang bonus karena lokasi pantai tersebut bukan lagi di Kecamatan Lasem, melainkan Kecamatan Rembang tepatnya di Jetakbelah, Punjulharjo. Kurang lebih 20 menit dari Lasem, pantai ini bisa menjadi referensi kunjungan wisata bagi kalian yang suka wisata alam. Ya, setelah hampir seharian keliling pecinan, traveling makin lengkap jika kalian juga mengunjungi pantai di jalur pantura ini.

Rimbunnya pohon cemara dengan pemandangan pantai pasir putih yang indah, Pantai Karang Jahe asyik banget buat  menikmati pemandangan lepas pantai dan foto-foto. Apalagi ditambah dengan adanya sewa Mobil ATV dan juga mobil dragon untuk keliling tepian pantai, sambil menunggu matahari terbenam makin asyik, bukan? 😉 HTM ke pantai ini Rp 3.000 per orang.

Bagaimana? Sudah siap untuk traveling ke Rembang?

Sesekali, datanglah ke Rembang. Ada banyak hal menarik di sana. Ada banyak hal yang bikin asyik di sana. Meski udara Rembang panas, tapi ketika masuk kampung pecinan kalian akan merasakan ketenangan, adem. Untuk masalah transportasi dan akomodasi jangan khawatir, Rembang sudah menyiapkannya. 🙂